Kamis, 08 Oktober 2009

''Stres Berkepanjangan? Peliharalah Ikan Koi''

PENDAPAT Prof Cary LG pengarang buku Psikologi untuk Manajer, hobi cenderung membuat orang lupa waktu, lupa keluarga, bahkan diri sendiri. Untuk hobi tak jarang orang harus merogoh kocek dalam-dalam.

Seorang manajer yang baik, lanjut Prof Cary, dapat mengatur hobinya dengan baik pula sehingga dapat menguntungkan bagi perusahaan, karier, keluarga, dan lingkungannya.

Berangkat dari hobi tersebut Agus Sutanto MBA (49), pengusaha sabun colek ternama bersama penghobi lain beramai ramai menjadikan hobi sebagai bagian dari usaha penunjang yang menghasilkan uang. Mereka kini membuat peternakan ikan koi yang besar di kaki Gunung Ungaran, tepatnya di Desa Nyatnyono.

Untuk beternak ikan yang konon dapat menghalau stres itu, Agus membeli sejumlah bibit unggul langsung dari Jepang. Semula hanya beberapa ekor saja, tetapi kini sudah ratusan induk ikan miliknya yang siap untuk dikembangbiakkan.

Satu ekor bibit dengan panjang 25 cm, dia membeli Rp 3,5 juta. Setelah dibeli belum dapat untuk dikembangbiakkan. Bila tubuh induk telah mencapai panjang 75 cm barulah dapat dikembangbiakkan.

Ketentuan tersebut, ujar Ir Fajar Basuki MSc, memang ideal untuk mulai dikembangbiakkan. Sesungguhnya kurang dari panjang tersebut dapat dikawinkan, namun hasilnya buruk.

Belum Maksimal

Meski Agus memiliki bibit yang tergolong ''kelas'' (juara), dia mengaku hasilnya belum maksimal seperti yang diharapkan. Sebagai gambaran dari satu kali bertelur, baru 5% saja yang menjadi bibit baik.

Dia membagi, ada tiga kelas ikan Koi masing-masing kelas A yang disebut jenis shawa, thaisho, kohaku, menyusul kelas B koromo tansho, girin showa, dan kelas C di luar jenis tersebut.

Dari negara asalnya Jepang, Koi memiliki 174 jenis namun yang dikenal hanya beberapa saja.

Koi merupakan ikan kolam, keindahannya hanya akan terlihat bila berada di kolam dan dilihat dari atas. Koi bukan ikan akuarium, jika dimasukan ke dalam akuarium tak akan menunjukkan keindahan dan keasyikan ketika memandanginya.

Bentuk postur ikan sangat memengaruhi harga jual selain bentuk warna yang indah. Bentuk baik, ujar Agung dan Fajar, memiliki bentuk proporsional, ''Jika dilihat dari atas bentuknya seperti bom.''

Tak jarang bila sedang stres, Agus mengaku sering tertidur di atas kolam setelah melihat geliat dan lenggang lenggok ikan koi miliknya.

Kendati telah menghasilkan, ucap pria yang banyak terjun ke organisasi sosial itu, modal yang dikeluarkan belum kembali. Untuk investasi kolam dan bibit sudah menghabiskan miliaran rupiah. Bahkan beberapa waktu lalu, dia pernah rugi Rp 500 juta lantaran semua induk ikan yang dia miliki mati terkena virus. ''Jika niat ingin berbisnis pasti orang akan menjadi stres. Tapi dilakukan lantaran hoby, ya stresnya tidak berkelanjutan''.

Mengenai harga, Agus masih mematok harga ''toleransi''. Artinya bila sesama penghoby atau mereka yang ingin benar benar belajar beternak ikan koi, hanya dilepas dengan harga Rp 1.000 meskipun dia membeli induknya Rp 3,5 juta. Bahkan dapat digratiskan. ''Saya akan beri asal jangan memilih lo,'' katanya serius. Sekarang setiap dua bulan dia sudah dapat menjual paling sedikit 3.000 ekor ikan Koi.

Kerja Sama

Sumber daya alam yang ada di Ungaran, ujar Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Ir H Warnadi MM memang baik untuk pengembangbiakan ikan koi termasuk ikan hias jenis lain.

Hasil kesepakatan dengan Pemkot Bogor beberapa waktu lalu, peternak ikan di Ungaran akan ''dikawinkan'' dengan peternak ikan yang ada di kota hujan tersebut. Peternak di Bogor memiliki keunggulan dan telah mempunyai pasar ekspor.

Dengan bekerja sama dengan mereka, ikan koi asal Ungaran kelak dapat juga diekspor bersama jenis ikan lain. Selain itu, Warnadi minta peternak yang ada di Ungaran dapat juga melakukan kerja sama dengan warga sekitar. (C17-76j)


Sumber:
http://www.suaramerdeka.com/harian/0207/02/kot20.htm